Sederhana Namun Penuh Makna
Masih ingat masa-masa SD anda? Kapan terakhir anda bermain ke SD tempat anda menuntut ilmu di waktu kecil? Kapan terakhir anda melihat senyuman ramah para guru SD yang menyambut anda dikala pagi menyapa? Kapan terakhir anda bermain permainan tradisional seperti galasin di halaman SD anda?
Mungkin dari anda semua hanya beberapa yang masih kerap hadir melepas rindu di SD tempat anda baru mulai mengenal penjumlahan angka-angka sederhana, ikut berbaris di depan kelas sebelum masuk dan berdiri rapi ditengah lapangan saat senin pagi untuk ikut dalam upacara bendera. Sebuah masa dimana pakaian merah putih itu selalu menghiasi hari-hari kita mempelajari konsep hidup yang sangat sederhana.
Di sebuah sekolah di Depok dalam ruangan kelas, seorang anak menghampiri salah satu relawan sambil membisikan panggilan “papah”. Anak tersebut minta untuk digendong dari belakang oleh relawan tersebut. Panggilan “papah” itu sempat mengagetkan sang relawan. Dia bingung mengapa anak ini begitu manja padanya. Namun relawan tersebut akhirnya diberitahu oleh salah seorang guru bahwa anak tersebut adalah anak yatim piatu. Manjanya dan dekapan anak tersebut memang terasa berbeda di hati relawan tersebut. Bayangkan saja jika ada seorang anak yang menghampiri kita seperti itu dan kita tau latar belakang dia. Rasanya ingin didekap lebih lama, ingin rasanya selalu menghadirkan tawa di sela waktu bermainnya di sekolah, ingin rasanya mengantar dan menjemput dia dari sekolah agar dia tak merasakan kesepian yang mungkin akan terus menemani hari-harinya.
Di kelas lainnya terlihat seorang relawan wanita yang sedang berjuang untuk meyakinkan anak-anak di kelas tersebut untuk mengikuti apa yang relawan tersebut minta. Wajah tegang tak bisa dihilangkan dari raut wajahnya. Dia pun sudah berteriak-teriak untuk meminta perhatian anak-anak namun masih sulit untuk mendapatkan perhatian mereka. Ternyata relawan ini sebelumnya tidak ikut dalam briefing kelas inspirasi dimana telah dibagi beberapa tips untuk manajemen kelas. Saat itu dia tidak bisa hadir karena pekerjaanya juga masih menumpuk sehingga dia tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkan materi pelajaran seperti para relawan lainnya. Mungkin bagi beberapa orang, mereka akan lebih memilih mundur karena persiapanya tidak matang daripada nantinya mengecewakan anak-anak tersebut. Namun tidak baginya, relawan ini tetap terus berjuang datang di hari kelas inspirasi tersebut untuk berbagi cita-cita kepada anak-anak di kelas itu. Tak ada kata mundur di hatinya karena dia yakin dia bisa melaluinya. Mentalnya yang telah ditempa selama menjadi Event Organizer kini coba ditantang dihadapan puluhan anak-anak di kelas itu. Namun dengan bangga akhirnya dia bisa berhasil melewati hari tersebut dengan senyuman. Semoga juga tidak ada anak-anak yang menangis ditinggalkanya. Hanya rasa rindu yang pasti hadir di hati anak-anak di kelas itu terhadap sosok relawan ini.
Sesaat berusaha untuk meninggalkan keceriaan di kelas-kelas tersebut untuk beranjak ke lapangan melihat beberapa anak-anak sedang bermain permainan bentengan bersama teman-temannya. Entah berapa tahun yang lalu masih bisa ku ikut dalam permainan ini. Berlari mengejar teman sebaya keliling lapangan dan disusul teman lainnya di belakangku demi menangkap lawan dan mengalahkannya. Keringatpun pasti penuh membasahi baju putih yang dipakai. Setelah bermain di siang hari yang terik itu akhirnya masuk ke kelas dengan ditemani sebuah buku yang menjadi kipas tuk mengusir panas di tubuh kecil ini. Masa anak-anak itu masih terbayang hingga kini ketika melihat keceriaan yang sama di lapangan kecil tempat para relawan kelas inspirasi depok ini mengajar.
Ku beranjak kembali masuk ke ruangan kelas untuk melihat keceriaan anak-anak di SDN Beji 6 Depok. Kini ku melihat sesosok wajah relawan dengan rambut klimisnya dan kacamata tebal warna hitam. Posturnya yang tinggi besar membuatnya jelas jauh terlihat lebih tinggi dari anak-anak di kelas tersebut. Relawan tersebut sedang bermain dengan rumah-rumahan yang dia bawa sebagai sarana baginya untuk menjelaskan tentang profesinya sebagai arsitek. Tawa kecilnya selalu menghiasi kelas tersebut saat dia sedang menjelaskan tentang profesinya kepada anak-anak. Ketika relawan tersebut meminta beberapa anak untuk melakukan pengukuran yang mungkin sulit untuk anak-anak seumur itu, wajahnya terlihat sangat bangga. Hal itupun selalu diucapkannya ketika bertemu oleh para guru dan para relawan lainnya. Dia sangat senang karena anak-anak tersebut sudah mengerti cara pengukuran yang mungkin sulit. Dia bangga saat dia berhasil membuat anak-anak tersebut tetap nyaman bersamanya untuk berbagi tentang cita-citanya. Padahal beberapa hari sebelumnya, relawan ini terlihat cukup panik karena masih bingung bagaimana cara mengajar anak-anak di kelas kecil. Ada ketakutan tersendiri jika sampai dia tidak berhasil meyakinkan anak-anak ini untuk tetap mendengarkan dia mengajar. Kekhawatiran itu pun tak pernah menjadi nyata karena ketulusan yang relawan tersebut sampaikan ke anak-anak ini. Bangga ya rasanya menjadi guru walau hanya sehari.
Warna yang hadir di hari itu bukan hanya dari keceriaan anak-anak namun juga dari pernak-pernik yang dibawa para relawan. Topi dari kertas ditemani sebuah notes berwana yang berisikan cita-cita masing-masing anak menjadi hiasan wajib di masing-masing kelas. Beberapa anak memakai kalung yang dihiasi oleh bintang sebagai tanda unik yang menghiasi keceriaan mereka. Di satu masa ku hampiri sebuah kelas dimana terlihat seorang ibu yang berwajah kalem dengan krudung warna abu-abu dan kalung name tag panitia berwarna orange. Relawan tersebut mengaku mengaku suaranya sudah mulai memudar karena kalah frekuensi dengan anak-anak di kelas tersebut. Namun dengan suara yang terbatas itupun dia tetap melanjutkan mengajarnya tanpa terpikir untuk berhenti dan keluar dari ruang itu.
Semangat ini mungkin tidak kita temukan ketika berada di ruang kerja yang dipenuhi oleh deadline dari para pemimpin perusahaan tempat kita bekerja. Biasanya hanya keluhan yang keluar dari mulut kita dibandingkan rasa syukur karena masih diberikan kesehatan dan bahkan pekerjaan hingga saat ini. Kita lupa bersyukur dengan adanya semua deadline itu kita masih bisa memberi makan anak-anak kita, memberi uang belanja istri kita dan bahkan dengan uang dari hasil kerja kita itu bisa digunakan untuk menyiapkan pernak-pernik untuk bahan ajar di kelas inspirasi depok pada tanggal 18 juni itu. Dengan semua yang kita miliki itu dapat menghadirkan senyum tawa anak-anak yang selalu meminta kita untuk kembali lagi sekedar menengok mereka. Kesederhanaan yang kadang sering kita lupakan dalam segala kesulitan hidup kita.
Mungkin kegiatan yang dilakukan para relawan ini cukup sederhana namun ternyata ini juga menguras tenaga dan pikiran mereka di hari-hari sebelum acara. Bahkan beberapa relawan pun berharap segera datangnya “selasa sore” yang menandakan selesainya acara tersebut karena ketegangan yang mereka rasakan. Di grup chat yang dibuat oleh para relawan ini berisi foto-foto pernak-pernik yang disiapkan oleh masing-masing relawan. Pohon cita-cita, kalung bintang, slempang bak putri Indonesia, topi cita-cita, bintang warna warni dan berbagai peralatan lainnya. Lihatlah betapa senangnya mereka menyiapkan semua peralatan itu. Ingin rasanya mereka membahagiakan anak-anak itu dalam sehari kedatangan mereka. Tak berharap ada tangis anak yang turut menemani di hari yang penuh makna itu. Walaupun pada kenyataanya ketegangan masih tetap ada di wajah mereka namun itu mereka tutupi dengan senyuman.
Hari itu adalah hari dimana aku bisa melihat wajah tegang bercampur senang dari para relawan kelas inspirasi. Ada relawan yang turut membawa anak mereka untuk ikut menemaninya saat mengajar. Mungkin baginya ini adalah sebuah semangat tambahan ketika harus menghadapi puluhan anak-anak di kelas tersebut. Selain harus menangani anak-anak murid itu dia juga harus menangani anaknya sendiri. Entah kenapa aku terharu dan bangga melihat relawan ini, dibalik segala kesibukannya dia juga turut membawa anaknya. Walaupun sebenarnya anaknya memang sedang libur sekolah tapi hal ini membuat sebuah perbedaan kecil.
Melihat para relawan kelas inspirasi depok yang hadir di SD Beji 6 ini membuat aku semakin yakin bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang peduli akan pendidikan. Mereka pun pasti sudah berhenti mengutuk segala kekurangan pendidikan di Indonesia. Karena secara langsung mereka turut berpartisipasi mengurangi sekat-sekat pemisah anak-anak Indonesia dengan kemajuan bangsanya. Mereka semakin mendekatkan anak-anak ke impiannya ketika di akhir acara di tengah teriknya panas itu, para relawan beserta para guru dan murid-murid melepas balon cita-cita ke langit biru. Terbanglah tinggi wahai cita-cita anak-anak Indonesia. Hari itu langit biru di Depok menjadi saksi ribuan mimpi anak-anak di setiap SD yang melaksanakan kelas inspirasi. Terima kasih wahai para relawan yang telah menjadikan hari-hari anak-anak di SD Beji 6 Depok semakin berwarna. Bagiku mengajar itu membuatku ketagihan, ketagihan untuk terus belajar, ketagihan untuk terus memandang foto-foto acara hari itu, ketagihan untuk menanti kunjungan kedua-ketiga-keempat dan seterusnya di SD Beji 6 Depok, ketagihan untuk kembali menyiapkan materi belajar bersama keluarga baru di kelompok 3, ketagihan untuk kembali dipanggil bapak-ibu guru oleh anak-anak ini dan ketagihan untuk sekali lagi diberikan kehormatan untuk hadir di hadapan anak-anak hebat ini. Sebuah kehormatan untuk bisa jadi salah satu saksi kehebatan para penerus bangsa Indonesia. Sehari ku mengajar seumur hidupku belajar.
Dedicated for : Ida Bagus Charma, Alya Fatima, Anindita Diah Kusumawardhani, Citra Sari Deasy Amrin, Dewi, Denok Marty Astuti, Laras Grahiningtyas, Leo Baringin, Muamar Sholihin Syaidar, Rendy, Rindu, Vendy Antono, Wresniwara (Relawan Kelompok 3 Kelas Inspirasi Depok, 18 Juni 2013)